Bulan: Maret 2010

DOA MENUJU SUNTER PODOMORO

DOA MENUJU SUNTER PODOMORO

Oleh: Jum’an

Murottal surat yasin di hape saya berdurasi seperempat jam, kira-kira sejarak dari Kebonkacang sampai ke perempatan Senen dipagi hari jam delapanan. Sejak duduk dimobil dan saya on-kan, saya komat-kamit mengkuti bacaan itu sambil sedapat mungkin mengingat artinya dan mengharapkan pahalanya. Tidak sedikit godaannya terutama kalau setir sendiri. Mengulurkan gopek diputeran, gadis cantik menyeberang, rem dan gas menghindari motor yang berseliweran, tukang koran dan peminta-minta. Kadang-kadang saya merasa pesimis seberapa manfaat dan pahala untuk saya. Tetapi begitu hampir tiap hari saya kerjakan.

Ketika berakhir di perempatan Senen, saya berdoa semoga seandainya ada pahala yang saya terima, arwah kedua kakak perempuan saya juga memperoleh kebaikan yang sama. Untuk arwah kedua orang tua, saya doakan tersendiri.

Saya masih punya waktu setengah jam antara underpass depan pasar Senen, melewati jalan Utan Panjang sampai ke tepi danau Sunter untuk bermohon-mohon atau menyampaikan puji-pujian. Saya harus mendahulukan mana yang saya anggap penting. Nanti didepan Vihara Budha 200 meter sebelum kantor, doa-doa sudah harus saya hentikan selesai atau belum selesai. Dari sana saya hanya akan membaca pujian yang ringan dilidah tetapi berat dalam timbangan yaitu: Subhanaalloh Walhamdulillah wal Ilaha illalloh wallohu akbar, teruuus samapai kekantor.

Yang paling penting, yang sering saya ingat adalah jangan sampai saya dipanggil sebelum dosa-dosa saya diampuni. Oleh karena itu saya baca astaghfirulloh lengkap beberapa kali. Lalu umur, kesehatan dan rizki. KepadaNya yang telah bersabda kun fayakun dan yang ditanganNya digenggam segala urusan, saya mohon dipanjangkan umur, dimudahkan urusan dan dimurahkan rizki terutama dihari rambut sudah memutih dan tulang-tulang sudah melemah ini.

Agar saya tidak ditolak oleh lingkungan, kepadaNya yang telah melunakkan besi bagi Sulaiman dan mendinginkan api bagi Ibrahim, saya bermohon agar hati orang-orang disekitar saya dingin dan damai terhadap saya. Biasanya doa ini saya ucapkan didekat-dekat masjid yang tidak pernah selesai dibangun disimpang empat Haji Jiung yang ramai dan semrawut itu.

Kadang-kadang ketika sinar pagi sangat cerah saya teringat untuk megucapkan bahwa duha ini, kemegahan ini, keindahan dan kekuatan ini semua milik Alloh. Kalau rizkiku ada dilangit tolong turunkan, kalau didalam bumi tolong keluarkan kalau sulit tolong mudahkan, wahai pemilik sinar pagi duha ini. Asmaul husna yang saya ingatpun saya baca dengan harapan dapat kecipratan hikmahnya.

Selangkah sebelum masuk pintu kantor saya baca doa pamungkas: Hasbialloh wani’mal wakiil. Terserah dan pasrah.

Sebenarnya berangkat kantor bukanlah waktu yang tepat untuk berdoa, kalau saja sehabis maghrib tidak lunglai kelelahan dan solat subuh tidak kesiangan. Entah bagaimana caranya membela diri, tetapi untuk saya yang tidak pandai mengatur waktu, berangkat kantor adalah prime time, masih segar rasa habis mandi, pikiran cerah, konsentrasi masih focus. Daripada mengisinya dengan yang lain saya rasa paling tepat justru untuk berdoa.

Tetapi manusia tetap manusia. Doa yang sering diucapkan menjadi verbalistis, kehilangan arti dan kosong. Lagi pula yang saya tulis diatas itu belum tentu saya jalani terus dengan istiqomah. Yah sekedar berbagi, bahwa ada juga orang yang model beginian.

JANGAN MINUM AIR BRANWIR

JANGAN MINUM AIR BRANWIR

Oleh: Jum’an

Lebih dari sekali saya melihat di TV beberapa orang dijalanan kota besar Amerika ditanya dimana letak Indonesia. Ada yang menjawab di Timur Tengah, di Bali dan di Singapura. Ternyata banyak diantara mereka yang tidak tahu dimana letak negeri kita. Mula-mula saya pikir keterlaluan. Bukankah Amerika adalah pusat dan gudangnya informasi? Ilmu pengetahuan, peperangan, pemanasan global atau apapun. Atau banyak orang yang memilih tutup mata karena merasa jenuh dengan simpang siur dan semrawutnya informasi?

Menurut Herbert Simon seorang ahli psikologi kognitif, informasi itu mengambil atau menyita perhatian penerimanya. Sehingga makin kaya seseorang dengan informasi makin miskin akan perhatian atau atensi. Alokasi perhatian haruslah dijaga agar tidak habis disita oleh serbuan informasi. Begitu pula orang-orang di kota-kota besar Amerika, perhatian mereka tersita habis oleh derasnya arus informasi yang mereka terima. Tak tersisa sedikitpun sampai-sampai negeri yang berpenduduk 200 juta ini terlewat dari perhatian mereka.

Pada hari natal 2009 Abdulmutallab seorang pemuda Nigeria telah mengecoh aparat keamanan Amerika dan hampir berhasil meledakkan pesawat Northwest Airlines di Detroit, Michigan. Sebenarnya sudah melihat tanda-tanda bahwa Mutallab berpotensi membahayakan, tetapi intelejen Amerika tenggelam dalam banjir informasi yang tak terkendali yang tidak henti-hentinya mereka sadap. Presiden Obama bilang, ini bukan kegagalan mengumpulkan informasi, tetapi gagal mengintegrasikan dan mencermati informasi yang kita miliki.

Sistim pengintaian yang computerized dan begitu canggih telah membuat mereka lebih menunggu alarm tanda bahaya berbunyi. Padahal mereka tahu Mutallab membeli one-way ticket dengan uang tunai dan tidak membawa tas waktu check-in dari Amsterdam; sangat mencurigakan

Jangankan mereka. Kita juga dilanda serbuan informasi yang luar biasa. Ada yang menyebut sekarang ini adalah zamannya Big Bang informasi. Sudah seharusnya kita dapat mengambil manfaat dari informasi yang kita terima dan kita kumpulkan. Mungkin dapat mengilhami kita untuk menjadi seorang penulis atau pemikir daripada sekedar membacanya saja. Atau merubahnya menjadi sesuatu yang bisa didagangkan dan menghasilkan uang atau sarana untuk meningkatkan karir atau berdakwah.

Informasi yang melimpah merupakan nutrisi yang vital untuk bertunasnya ide-ide dan solusi baru. Tetapi derasnya arus informasi juga simpang-siur, semrawut dan membingungkan. Seperti orang mencoba meminum air dari semprotan pipa branwir, ia akan tersedak dan hampir tidak setegukpun yang masuk kemulut. Karenanya ada yang menganjurkan mengambil waktu luang yang khusus untuk menyaring info-info yang semrawut dan menyerap yang bermanfaat. Sekaligus merenung untuk memberikan waktu dan suasana bagi lahirnya pemikiran baru.

HARAM ADALAH LEVENSGEVAAR

HARAM ADALAH LEVENSGEVAAR

Oleh: Jum’an

Dulu saya mengira bahwa bahasa Inggrisnya babi adalah pig saja. Sesudah mengalami demam bahasa Inggris saya baru tahu bahwa pork dan ham adalah dia-dia juga. Sebelumnya saya pernah tiba-tiba merasa mual dan muntah-habis dihotel mancanegara setelah diberi tahu bahwa fried eggs with ham, sarapan yang baru saya santap adalah telor dadar dan goreng paha belakang babi yang diris tipis-tipis. Banyak orang menceritakan kepada saya peristiwa serupa, mual dan muntah setelah tahu salah makan.

Saya merasa bersyukur karena berasal dari desa santri tradisional yang solatnya diawali nawaitu usholli yang fasih dan yang kalau ketemu anjing selalu melipat ibujari sambil membaca sumum- bukmun. Untuk orang-orang yang sejenis diri saya, haram sama mengerikannya dengan peringatan tiga bahasa diatas plat logam yang dipasang pada tembok gardu listrik peninggalan zaman Belanda. Yaitu Levensgevaar dalam bahasa Belanda, Awas Elestrik dalam bahasa Indonesia dan ”Sing Ngemek Mati” dalam bahasa dan tulisan Jawa. Yang terakhir ini artinya Yang Menyentuh Mati. Adapun Levensgevaar artinya membahayakan kehidupan. Disebelah kanan peringatan bahaya tiga bahasa itu ada gambar kilat menyambar.

Jarang ada kata seperti haram. Satu kata dengan dua konotasi yang berlawanan untuk sesuatu dan sesuatu yang lain. Baitulloh di Mekah menyandang atribut masjidil haram, suci dan terhormat. Tetapi ketika lahmal khinzir (daging babi) menerima atribut haram, yang sudah masuk kedalam perutpun ditolak dan dimuntahkan.

Begitu sakralnya perkataan haram dibenak saya sampai-sampai terbius seolah-olah hanya Alloh yang boleh menggunakan perkataan itu. Atau memang begitu. Yaitu untuk mencegah manusia memakan bangkai, meminum darah, menikahi ibunya sendiri atau membunuh orang. Juga untuk memuliakan empat bulan suci dimana maksiat pada bulan tersebut akan dilipatkan dosanya, dan amal sholeh akan menuai pahala yang lebih besar yaitu bulan zulkaidah, zulhijjah, muharram dan rajab.

Adapun merokok yang pernah saya jalani hampir 50 tahun (bayangkan berapa kilo nikotin telah melewati tubuh saya) adalah memang berbahaya. Oleh karena itu meskipun terpaksa dan susah payah telah berhasil saya tinggalkan. Sayapun bersyukur sudah dan semoga seterusnya terhingar dari bahaya racun tembakau itu. Tetapi saya lebih suka untuk tidak menggunakan kata haram. Hukumlah seberat-beratnya para perokok hingga jera, rancanglah undang-undang anti rokok yang keras atau insentif yang menarik bagi mereka yang mampu meninggalkan kebiasaan merokok. Cantumkan ancaman Levensgevaar atau ”Sing Udud Modar” pada setiap bungkus rokok. Tetapi jangan kurangi kesakralan kata haram untuk tujuan itu karena nawitu usholli saya jadi kurang fasih nanti.

DULU MALVINAS MILIK ALLOH

DULU MALVINAS MILIK ALLOH

Oleh: Jum’an

Pada mulanya semua hewan bebas berkumpul dan merumput bersama-sama dengan jenisnya masing-masing. Kuda bersama kuda, onta bersama onta dan kambing bersama kambing. Mereka pulang ketempat yang mereka pilih sendiri. Lalu datanglah manusia menguasai mereka seperti disebut dalam surat Yasin ayat 70. Semua kambing, kuda dan onta sekarang ada pemiliknya. Demikian pula laut dan gunung, hutan dan padang pasir. Zaman dulu kala siapapun boleh berlayar, mendaki dan mengarunginya. Orang boleh berada dimana saja kapan saja. Entah siapa yang kemudian memberikan hak kepada manusia untuk membuat garis diatas padang pasir atau menancapkan tiang ditepi hutan dan melarang orang lain masuk atau melewatinya.

Seorang teman yang kesulitan memperoleh visa masuk ke Amerika karena nama depannya Mohammad dengan muram berkata: Ini kan bumi Alloh. Kenapa jadi dipagar keliling dan kita dilarang menginjaknya? Bukankah orang Amerika yang sekarang adalah juga pendatang? Lihatlah Inggris sekutu Amerika. Ia memiliki kepulauan Malvinas sampai sekarang. Padahal pulau itu terletak dekat disebelah Argentina dan Inggris berjarak hampir 13,000 km dari sana. Ketika Argentina mencoba merebutnya pada tahun 1982 , Inggris mengerahkan mesin-mesin perangnya yang canggih untuk mengusir mereka. Padahal pada mulanya pulau Malvinas adalah milik Alloh, seperti kuda liar dan onta gurun.

Tidak hanya tanah dan hewan tetapi manusiapun menguasai dan memiliki manusia lain sebagai budak yang boleh diapakan saja kalau mereka suka.

Pada abad-abad pertama, lima persen penduduk China adalah budak. Diabad yang lain lebih dari seperempat penduduk Thailand dan Burma serta lebih dari sepertiga penduduk Korea adalah budak. Manusia memiliki manusia lain sebagai haknya dan tidak boleh diganggu–gugat oleh siapapun. Tidak masuk akal.

Ciptaan Alloh manalagi yang akan dikuasai oleh manusia sesudah hampir seluruh bumi dan seisinya? Ada tanda-tanda bahwa manusia dengan rekayasa baru yang disebut Geo Engineering akan merebut cuaca dari kepemilikan penciptanya.

Charles Mallory Hatfield seorang salesman mesin jahit di Kalifornia dengan tekun mepelajari bagaimana caranya membuat hujan. Ia meramu 22 jenis bahan kimia rahasia yang mampu memenarik awan dan menurunkan hujan. Pada tahun 1916 dia dikontrak untuk mengisi Bendungan Morena di San Diego County yang kering akibat musim kemarau berkepanjangan, dengan upah 10 ribu dolar jika berhasil. Pada awal Januari tahun itu hujanpun benar-benar berhasil diturunkan, semakin hari semakin deras. Bukan saja Bendungan Morena yang luber, tetapi banjir dimana-mana yang mengakibatkan 20 orang korban tewas. Pemerintah daerah menolak membayar kecuali kalau Hatfield bersedia menaggung kerugian yang dperkirakan mencapai 3,5 juta dollar. Tahun 1958 Charles Mallory Hatfield meninggal dan membawa serta rahasia pelet hujannya kedalam kubur

Pada tahun 1971, tentara Amerika juga pernah berhasil memperpanjang musim hujan di Vietnam untuk membanjiri Ho Chi Minh Trail dalam usaha menghambat gerakan tentara Vietcong saat itu.

Geo Engineering atau rekayasa pengendalian cuaca, tidak bedanya dengan usaha menjinakkan kuda liar untuk selanjutnya menguasai dan memilikinya. Sesudah itu terserah kepada yang punya. Teknologi nuklir dapat menghasilkan pembangkit listrik tetapi juga dapat menghasilkan bom nuklir. Pengendalian cuaca mungkin dapat mengatasi pemanasan global seperti dicita-citakan, tetapi dapat juga mencekek bangsa lain, terutama negara agraris seperti Indonesia.

NYANYIAN ANGSA









NYANYIAN ANGSA
karya W.S Rendra

Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya:
“Sudah dua minggu kamu berbaring.
Sakitmu makin menjadi.
Kamu tak lagi hasilkan uang.
Malahan kapadaku kamu berhutang.
Ini beaya melulu.
Aku tak kuat lagi.
Hari ini kamu harus pergi.”

(Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya tegas dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Maka darahku terus beku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang sengsara.
Kurang cantik dan agak tua).

Jam dua-belas siang hari.
Matahari terik di tengah langit.
Tak ada angin. Tak mega.
Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.
Tanpa koper.
Tak ada lagi miliknya.
Teman-temannya membuang muka.
Sempoyongan ia berjalan.
Badannya demam.
Sipilis membakar tubuhnya.
Penuh borok di klangkang
di leher, di ketiak, dan di susunya.
Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.
Sakit jantungnya kambuh pula.
Ia pergi kepada dokter.
Banyak pasien lebih dulu menunggu.
Ia duduk di antara mereka.

Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka.
Ia meledak marah
tapi buru-buru jururawat menariknya.
Ia diberi giliran lebih dulu
dan tak ada orang memprotesnya.
“Maria Zaitun,
utangmu sudah banyak padaku,” kata dokter.
“Ya,” jawabnya.
“Sekarang uangmu brapa?”
“Tak ada.”
Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang.
Ia kesakitan waktu membuka baju
sebab bajunya lekat di borok ketiaknya.
“Cukup,” kata dokter.
Dan ia tak jadi mriksa.
Lalu ia berbisik kepada jururawat:
“Kasih ia injeksi vitamin C.”
Dengan kaget jururawat berbisik kembali:
“Vitamin C?
Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.”
“Untuk apa?
Ia tak bisa bayar.
Dan lagi sudah jelas ia hampir mati.
Kenapa mesti dikasih obat mahal
yang diimport dari luar negri?”

(Malaikat penjaga Firdaus.
Wajahnya iri dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku gemetar ketakutan.
Hilang rasa. Hilang pikirku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang takut dan celaka.)

Jam satu siang.
Matahari masih dipuncak.
Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu.
Dan aspal jalan yang jelek mutunya
lumer di bawah kakinya.
Ia berjalan menuju gereja.
Pintu gereja telah dikunci.
Karna kuatir akan pencuri.
Ia menuju pastoran dan menekan bel pintu.
Koster ke luar dan berkata:
“Kamu mau apa?
Pastor sedang makan siang.
Dan ini bukan jam bicara.”
“Maaf. Saya sakit. Ini perlu.”
Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau.
Lalu berkata:
“Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu.
Aku lihat apa pastor mau terima kamu.”
Lalu koster pergi menutup pintu.
Ia menunggu sambil blingsatan dan kepanasan.
Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.
Setelah mengorek sisa makanan dari giginya
ia nyalakan crutu, lalu bertanya:
“Kamu perlu apa?”
Bau anggur dari mulutnya.
Selopnya dari kulit buaya.
Maria Zaitun menjawabnya:
“Mau mengaku dosa.”
“Tapi ini bukan jam bicara.
Ini waktu saya untuk berdo’a.”
“Saya mau mati.”
“Kamu sakit?”
“Ya. Saya kena rajasinga.”
Mendengar ini pastor mundur dua tindak.
Mukanya mungkret.
Akhirnya agak keder ia kembali bersuara:
“Apa kamu – mm – kupu-kupu malam?”
“Saya pelacur. Ya.”
“Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!”
“Ya.”
“Santo Petrus!”
Tiga detik tanpa suara.
Matahari terus menyala.
Lalu pastor kembali bersuara:
“Kamu telah tergoda dosa.”
“Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.”
“Kamu telah terbujuk setan.”
“Tidak. Saya terdesak kemiskinan.
Dan gagal mencari kerja.”
“Santo Petrus!”
“Santo Petrus! Pater, dengarkan saya.
Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya.
Yang nyata hidup saya sudah gagal.
Jiwa saya kalut.
Dan saya mau mati.
Sekarang saya takut sekali.
Saya perlu Tuhan atau apa saja
untuk menemani saya.”
Dan muka pastor menjadi merah padam.
Ia menuding Maria Zaitun.
“Kamu galak seperti macan betina.
Barangkali kamu akan gila.
Tapi tak akan mati.
Kamu tak perlu pastor.
Kamu perlu dokter jiwa.”

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya sombong dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku lesu tak berdaya.
Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang lapar dan dahaga.)

Jam tiga siang.
Matahari terus menyala.
Dan angin tetap tak ada.
Maria Zaitun bersijingkat
di atas jalan yang terbakar.
Tiba-tiba ketika nyebrang jalan
ia kepleset kotoran anjing.
Ia tak jatuh
tapi darah keluar dari borok di klangkangnya
dan meleleh ke kakinya.
Seperti sapi tengah melahirkan
ia berjalan sambil mengangkang.
Di dekat pasar ia berhenti.
Pandangnya berkunang-kunang.
Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar.
Orang-orang pergi menghindar.
Lalu ia berjalan ke belakang satu retoran.
Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan.
Kemudian ia bungkus hati-hati
dengan daun pisang.
Lalu berjalan menuju ke luar kota.

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Yang Mulya, dengarkanlah aku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur lemah, gemetar ketakutan.)

Jam empat siang.
Seperti siput ia berjalan.
Bungkusan sisa makanan masih di tangan
belum lagi dimakan.
Keringatnya bercucuran.
Rambutnya jadi tipis.
Mukanya kurus dan hijau
seperti jeruk yang kering.
Lalu jam lima.
Ia sampai di luar kota.
Jalan tak lagi beraspal
tapi debu melulu.
Ia memandang matahari
dan pelan berkata: “Bedebah.”
Sesudah berjalan satu kilo lagi
ia tinggalkan jalan raya
dan berbelok masuk sawah
berjalan di pematang.

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya tampan dan dengki
dengan pedang yang menyala
mengusirku pergi.
Dan dengan rasa jijik
ia tusukkan pedangnya perkasa
di antara kelangkangku.


Dengarkan, Yang Mulya.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang kalah.
Pelacur terhina).

Jam enam sore.
Maria Zaitun sampai ke kali.
Angin bertiup.
Matahari turun.
Haripun senja.
Dengan lega ia rebah di pinggir kali.
Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya.
Lalu ia makan pelan-pelan.
Baru sedikit ia berhenti.
Badannya masih lemas
tapi nafsu makannya tak ada lagi.
Lalu ia minum air kali.

(Malaekat penjaga firdaus
tak kau rasakah bahwa senja telah tiba
angin turun dari gunung
dan hari merebahkan badannya?
Malaekat penjaga firdaus
dengan tegas mengusirku.
Bagai patung ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)

Jam tujuh. Dan malam tiba.
Serangga bersuiran.
Air kali terantuk batu-batu.
Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenang
dan mengkilat di bawah sinar bulan.
Maria Zaitun tak takut lagi.
Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya.
Mandi di kali dengan ibunya.
Memanjat pohonan.
Dan memancing ikan dengan pacarnya.
Ia tak lagi merasa sepi.
Dan takutnya pergi.
Ia merasa bertemu sobat lama.
Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya.
Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya.
Ia jadi berduka.
Dan mengadu pada sobatnya
sembari menangis tersedu-sedu.
Ini tak baik buat penyakit jantungnya.

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki.
Ia tak mau mendengar jawabku.
Ia tak mau melihat mataku.
Sia-sia mencoba bicara padanya.
Dengan angkuh ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)

Waktu. Bulan. Pohonan. Kali.
Borok. Sipilis. Perempuan.
Bagai kaca
kali memantul cahaya gemilang.
Rumput ilalang berkilatan.
Bulan.

Seorang lelaki datang di seberang kali.
Ia berseru: “Maria Zaitun, engkaukah itu?”
“Ya,” jawab Maria Zaitun keheranan.
Lelaki itu menyeberang kali.
Ia tegap dan elok wajahnya.
Rambutnya ikal dan matanya lebar.
Maria Zaitun berdebar hatinya.
Ia seperti pernah kenal lelaki itu.
Entah di mana.
Yang terang tidak di ranjang.
Itu sayang.
Sebab ia suka lelaki seperti dia.
“Jadi kita ketemu di sini,” kata lelaki itu.
Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya.
Sedang sementara ia keheranan
lelaki itu membungkuk mencium mulutnya.
Ia merasa seperti minum air kelapa.
Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu.
Lalu lelaki itu membuka kutangnya.
Ia tak berdaya dan memang suka.
Ia menyerah.
Dengan mata terpejam
ia merasa berlayar
ke samudra yang belum pernah dikenalnya.
Dan setelah selesai
ia berkata kasmaran:
“Semula kusangka hanya impian
bahwa hal ini bisa kualami.
Semula tak berani kuharapkan
bahwa lelaki tampan seperti kau
bakal lewat dalam hidupku.”
Dengan penuh penghargaan lelaki itu memandang kepadanya.
Lalu tersenyum dengan hormat dan sabar.
“Siapakah namamu?” Maria Zaitun bertanya.
“Mempelai,” jawabnya.
“Lihatlah. Engkau melucu.”
Dan sambil berkata begitu
Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba ia terhenti.
Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.
Di lambung kiri.
Di dua tapak tangan.
Di dua tapak kaki.
Maria Zaitun pelan berkata:
“Aku tahu siapa kamu.”
Lalu menebak lelaki itu dengan pandang matanya.
Lelaki itu menganggukkan kepala: “Betul. Ya.”

(Malaekat penjaga firdaus
wajahnya jahat dan dengki
dengan pedang yang menyala
tak bisa apa-apa.
Dengan kaku ia beku.
Tak berani lagi menuding padaku.
Aku tak takut lagi.
Sepi dan duka telah sirna.
Sambil menari kumasuki taman firdaus
dan kumakan apel sepuasku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur dan pengantin adalah saya.)

YANG MANIS BERLAPIS MADU

YANG MANIS BERLAPIS MADU

Oleh: Jum’an

Perhatikan cara keponakan beraksi. Bersijingkat mengambil dompet dari saku saya, mengorek isinya lalu menunjukkan kepada saya berapa lembar yang dicolongnya tanpa bersuara. Lalu agar saya terlena dia menampilkan sebuah topik, ganti-ganti setiap kali beraksi. Kali ini tentang arisan keluarga. ”Ini kan acara penutupan. Yang dapat Bu A, Bu B dan Bu C. Lha kok saya ditilpun suruh menyediakan bakso dan opor ayam untuk 30 orang. Apa gak gendeng?” Kenapa kau tidak langsung jawab, kan yang dapat bukan saya kok ….? ”Tidak etis dong kita kan bersaudara. Lagipula biasanya Bu A memang memesan masakan dari saya kalau ada acara dengan teman-temannya”. Jadi kau ragu dia mau bayar atau kerja-bakti karena kau lebih muda dari mereka? ”Menilik wataknya, dia sih tidak mungkin bayar”. Lalu dengan panjang lebar dia menceritakan watak masing-masing anggota arisan, hampir semuanya jahat. Padahal semuanya adalah keluarga sendiri yang selalu cipika-cipiki setiap kali berjumpa.

Manisah, sekretaris dikantor saya yang lama dipanggil Manis bukan hanya untuk menyingkat, tetapi wajahnya memang manis, suaranya seksi dan enak didengar. Sikapnya hormat tingkah-lakunya memikat. Sedikit genit pula. Banyak orang terpesona dan merasa senang melihat wajah dan mendengar suaranya. Manis memang manis seperti berlapis madu.

Suatu kali saya terluka oleh keputusan Ibu direktur keuangan, dan saya bercerita kepada Manis yang berlapis madu itu. Diluar dugaan, dan saya merasa senang, dia menceritakan watak masing-masing perempuan yang ada dikantor, hampir semuanya jahat. ”Makanya Bapak hati-hati deh”. Saya hampir saja keceplosan mengatakan: Kamu persis keponakan saya. Tetapi untung saya telan kembali.

Apakah dunia wanita memang demikian ceriminannya sehingga Si Manis dan keponakan saya harus melapisi diri dengan madu etika dan sopan santun agar pergaulan kantor dan arisan keluarga bisa tetap berjalan? Seandainya kedua orang yang saya sebut namanya merupakan sisi gelap dari dunia wanita, siapa yang mewakili sisi terangnya?

Mereka berdua juga. Keponakan saya hidup lurus dan rendah hati, disenangi teman-temannya, solat lima waktu, tahajud dan tafakur, mendidik anaknya dengan tekun dan mendoakan saya setiap hari. Manis juga. Boleh dikatakan dialah yang menghidupkan suasana kantor saya, melayani relasi dan karyawan lain dengan sopan dan ceria. Solat tak pernah lupa. Mukenanya putih dan wangi. Kadang- kadang orang yang menilpun saya berkata: ”Pak apa wajah sekretaris Bapak sama dengan nama dan suaranya?”

Demikianlah wanita dengan multidimensinya, sulit dianalisa sulit diterka. Diterima saja apa adanya.

SAYA PILIH SITI MUNAROH

SAYA PILIH SITI MUNAROH

Oleh: Jum’an

Ketika teman saya sarjana akunting yang berpendirian keras menikah dengan seorang sarjana psikologi, naluri saya mengatakan ada sesuatu yang tidak kena pada pernikahan mereka. Pasangan itu sebenarnya ideal dilihat dari berbagai sudut. Hanya saja keduanya begitu pede dengan kepribadiannya masing-masing, begitu kristal mirip dua kelereng yang sama-sama keras dan bulat sempurna sehingga tidak ada lekuk-lekuk yang bisa berpasangan, tak ada ruang untuk memberi dan menerima.

Padahal seorang pria, seorang pendukung asas persamaan gender sekalipun, sebenarnya merindukan seorang gadis manis yang jujur dan lugu yang ingin dimanjakannya sebagai seorang ratu. Seorang gadis yang menaruh hormat kepadanya, berlindung kepadanya bila ada kesulitan atau bahaya. Seorang pria ingin berperan sebagai guru dan ada murid yang mengagumi bakat-bakatnya. Dengan kata lain ia mendambakan seorang yang dapat membuatnya merasa sebagai gentle-man yang disukai kerena cerdas, berwibawa dan dicintai karena kepribadiannya yang ramah dan simpatik.

Dibalik sana pasti ada seorang gadis yang merindukan pria idaman yang akan mengentaskannya dari gubuk derita dan memboyongnya kesebuah istana emas. Seorang pria yang bisa membuat semua yang kelam berubah menjadi cerah. Wanita mana yang sanggup menolak cinta seorang pria yang menumpahkan segenap perhatian dan memanjakannya seperti seorang dewi. Alangkah mulia seorang pria yang bekerja keras dan tekun yang mempersembahkan hasilnya demi kebahagiaan bersama.

Alkisah pasangan sarjana kristal teman saya bercerai pada tahun kedelapan pasca pernikahan mereka. Tak ada kecocokan dalam banyak hal dan masing-masing kukuh dengan pendiriannya. Setahun kemudian teman saya menikah dengan Siti Munaroh gadis berwajah bulat dari pinggir kota, tamatan madrasah ’aliyah. Berkerudung dan berkebaya. Manis dan ceria. Lugu dan apa adanya.

Siti Munaroh diboyong dari rumah kampung kerumah gedung, sebuah istana emas dimatanya. Ia sangat bahagia, tidak rewel, tidak neko-neko. Anak-anaknya diasuh dan dididik menghormat orang tua, terutama bapak mereka yang telah mengentaskannya dari kesengsaraan kedunia terang benderang. Kebahagiaan sebuah keluarga trdisional. Suami dengan tugas laki-lakinya, istri mengurus rumah tangga dan mendidik anak. Siti Munaroh mengantar dan menyambut suamiya dengan senyum setiap hari, makan bersama dan solat berjamaah. Bila mereka berada berdua saja, Munaroh dengan tekun mendengarkan semua keluhan suamiya, memberinya dukungan agar tabah dan ia selalu menyertainya dengan doa.

Tahun 2008 yang lalu Yorkshire Building Society dari Inggris mengadakan sebuah penelitian tentang pandangan pria dan wanita masakini mengenai pasangan yang ideal dalam berkeluarga. Hasilnya sungguh menyimpang dari impian kaum feminist yang mereka kobarkan sejak 1960 an yaitu sebuah dunia dengan persamaan hak antara pria dan wanita. Hasil penelitian itu tidak berbeda jauh dengan isi buku petunjuk tentang keluarga bahagia yang terbit tahun 50 an. Yaitu bahwa para pria lebih menyukai wanita tradisional dan bahwa para wanita merasa bahagia sebagai ibu rumah tangga.

Seandainya diizinkan kembali keumur duapuluhlima, saya akan melamar Siti Munaroh gadis berwajah bulat, ceria, berkerudung dan berkebaya. Tamatan sanawiyah sekalipun….

DOKTER DAN MALAIKAT

DOKTER DAN MALAIKAT

Oleh: Jum’an

Kita tidak tahu entah bagaimana suasana pengadilan di akhirat nanti. Tanpa ingin meringan-ringankan seorang teman saya dengan ceria dan penuh harap membayangkan sebuah skenario begini. Begitu malaikat mengambil buku catatan amalan, sebelum sempat dibuka dan dibacakan, dia akan melompat kedepan menubruk dan merebut buku itu dari tangan sang malaikat. Ia akan berkata: ”Stop. Stop. Tolong tidak usah dibuka tidak usah dibaca. Saya sudah tahu isinya. Mohonkan ampun saja dari Dia. Dia pasti akan mengampuni saya”

Buku catatan amal yang akan mengantar kita kesorga atau keneraka, tentulah sangat mendebarkan waktu dibacakan didepan kita sebagai pelakunya.

Didunia saja kita mengeluarkan keringat dingin sebelum membuka rapot sekolah, pengumuman ujian atau amplop hasil test dokter. Saat itulah kita diberitahu tentang nasib kita selanjutnya bahagia atau celaka, naik kelas atau mengulang, kangker jinak atau kangker ganas, jadi bupati atau berhutang untuk membayar biaya kampanye.

Amplop itu sudah saya pegang-pegang lebih dari setengah jam. Saya benar-benar membutuhkan persiapan mental yang cukup untuk membukanya. Beberapa baris dari bawah, dibagian Kimia Darah, ada angka-angka yang akan menghakimi saya. Diantaranya kadar creatinin, ureum dan asam urat. Kalau ketiga angka itu menyimpang terlalu juh dari normal, tandanya hasil cangkok ginjal saya cenderung memburuk dan itu menakutkan. Saya baru membuka amplop itu sesudah saya memberanikan diri untuk pasrah dan mengatakan: ”Kalau memang sudah sampai saatnya, apa mau dikata dan siapa yang bisa mencegahnya”. Bismillah…

Hal itu terjadi setiap bulan, dua bulan dan akhirnya tiap tiga bulan sekali. Baru sesudah hampir dua tahun saya bisa dengan tenang membuka amplop itu tanpa rasa takut dan tidak harus menunggu lama. Hasil test rata-rata selalu mendekati normal, berkisar pada angka-angka itu juga. Beberapa tahun belakangan ini bahkan saya tidak lagi melakukan test, meskipun izin absen untuk test masih selalu saya pakai untuk membolos dari kantor. Enggan melakukan test lama-lama berkembang menjadi takut melakukan test, kalau-kalau hasilnya akan menyimpang jauh dari normal karena sudah terlalu lama.

Saya berharap suatu saat di bulan Maret ini saya akan mengulangi kata-kata saya: ”Kalau memang sudah sampai saatnya, apa mau dikata dan siapa yang bisa mencegahnya” dan dengan tabah berangkat melakukan test ke rumah sakit Cikini, sekaligus melihat hasil esok harinya dan melaporkannya kepada dokter Widodo di Pondok Indah. Insyaalloh

Orang sering mengatakan dengan enaknya: Ya periksa saja supaya tahu hasilnya supaya bisa segera diobati penyakitnya. Memang benar, tapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Percaya deh…

SAYA SEORANG PEMBERANI

SAYA SEORANG PEMBERANI

Oleh: Jum’an

Sejak masa kanak-kanak sampai dewasa, apalagi sesudah tua, saya tidak pernah mencapai prestasi apapun dibidang olah raga. Dari SD sampai SMA hanya ikut pelajaran gerak badan disekolah. Semasa mahasiswa senam tidak teratur, lari pagi kalau tidak tertidur lagi sesudah solat subuh dan angkat-angkat dumbel ringan agar lengan nampak berotot dengan baju lengan pendek. Akibatnya saya tidak pernah berani untuk berantem, meloncat pagar atau adu panco.

Belakangan saya baru sadar bahwa keberanian jasmani itu pada waktunya sangat diperlukan dalam kehidupan. Dengan kemiskinan bekal seperti ini bagaimana saya mampu menyelamatkan diri? Sungguh diluar bayangan bahwa suatu saat saya harus berani melompat dari speedboat ke dek kapal pemboran. Speed boat itu berhenti disamping kapal tetapi bergerak naik turun, merapat dan merenggang dari tangga kapal karena diayun ombak. Tepat pada jarak terdekat dan tinggi sejajar dengan tangga, saat itulah saya harus melompat. Kalau terlalu cepat atau terlalu lambat saya melakukannya karena ragu, kemungkinan besar akan meleset dan tercebur kelaut, meskipun sudah memakai baju pelampung.

Tentu saja saya takut bahkan sangat takut. Tetapi saya malu dan pantang untuk nampak ketakutan didepan orang-orang yang belum saya kenal baik. Sayapun berura-pura berani dengan menunjukkan wajah tetap senyum dan bercanda: ”Anda mau duluan atau saya?” Seorang disamping saya menjawab: ”Mas sajalah duluan, silahkan!” Dan saya ambil ancang-ancang, tunggu tepat waktu, bismillah dan ”ciaaat” alhamdulillah saya berada diatas dek kapal sekarang.

Sudah untuk kesekian kalinya kepura-puraan saya menghasilkan rasa berani yang nyata, termasuk diantaranya ketika suatu waktu dokter memasukkan kateter tanpa bius yang sakitnya nauzubillah. Keluarga saya kadang-kadang membanggakan diri saya yang dalam anggapan mereka adalah seorang yang tabah dan pemberani.

Fake it till you make it – berpura-puralah sampai berhasil. Ungkapan ini tentu saja tidak berlaku untuk semua hal. Tetapi dalam hal keberanian, setidaknya untuk kasus saya terbukti benar. Kalau mau mencoba, pura-puralah tersenyum anda sedikit banyak akan merasakan dampak rasa senangnya dihati. Cobalah!

Dalam dunia psikologi dikenal istilah self-fulfilling prophecy yaitu ramalan atau kepercayaan yang secara langsung atau tidak langsung benar-benar terjadi dengan sendirinya, hanya semata-mata berasal dari ramalan itu, karena adanya pengaruh timbal-balik antara kepercayaan dan perilaku seseorang.

Pernahkah anda membaca hadis Qudsi yang berbunyi: ”Ana ’inda dhonni ’abdi” – Aku adalah sebagaimana prasangka hambaKu? Saya ingin mengatakan bahwa kepura-puraan saya untuk berani sebenarnya merupakan doa yang menyamar dan kemampuan saya melompat keatas dek kapal adalah pengabulan, sekaligus sebagai bukti bahwa Dia memang sebagaimana prasangka saya.

Biasanya sesudah mengalami peristiwa demikian saya merasa sedih dan bahkan menangis sesudah berada sendirian. Perasaan campur aduk antara bersyukur dan bangga serta sedih membayangkan apa jadinya kalau tadi saya gagal melompat. Sekarang rasa takut yang saya pendam itu pecah menjadi air mata.