Oleh: Jum’an
Saya mempunyai sebuah kursi dengan jok dan sandaran tetapi tanpa kaki. Enak untuk duduk diatas tempat tidur dengan kaki menjulur sambil memangku laptop. Sayang sebentar saja pangkuan terasa panas karena tidak punya tatakan untuk peyangga laptop. Ketika saya ceritakan hal itu kepada Mang Taslim, ia menawarkan solusi: Nanti saya buatkan Pak! Mang Taslim adalah MacGyver kami dikantor. Dia adalah mandor dibagian gudang dengan tugas multi-fungsi. Dia pandai membuat macam-macam perkakas dari barang-barang yang ada disekitarnya seperti MacGyver membuat senjata dari potongan pipa, paku, paper klip dan selotip. Pagi hari berikutnya ia melapor: Barangnya sudah jadi Pak. Hasilnya sebuah tatakan seperti yang saya inginkan tetapi tidak seringan dan sebagus buatan pabrik yang dijual di Ace Hardware (kalau ada). Dibuat dari papan bekas palet atau kemasan lain. Karena mudah diperoleh, karena gratis dan karena hanya itu yang tersedia maka papan bekas menjadi pilihan satu-satunya. Kalau mencari yang enteng, bagus, efisien dan estetis dan ada uang, saya tidak menyebut-nyebut Mang Taslim dan MacGyver.
Bukan hanya tatakan laptop saya saja yang berasal dari bahan seadanya. Sebagian dari kita kaum karyawan, bukanlah hasil seleksi mutu yang ketat. Sama dengan perkakas dari papan bekas buatan Mang Taslim. Tidak efektif, tidak efisien dan tidak mengharumkan nama perusahaan sedikitpun. Ketika bekerja dibagian produksi disebuah pabrik plastik saya mempunyai seorang anak buah yang saya yakin berasal dari papan bekas. Bodoh, ngeyel, sok pintar, melantur, selalu punya alasan kalau berbuat salah, tidak pernah memenuhi tugas dengan baik. Suka mengambil inisiatif sendiri dan hampir selalu keliru. Sangat menjengkelkan. Dia tidak faham bahasa Inggris sedikitpun, ia hanya menguasai satu bahasa dan itu bukan bahasa Indonesia tapi bahasa Betawi. Saya sudah beberapa kali berniat memecatnya tetapi selalu saya tunda karena ragu-ragu, sampai suatu saat habislah kesabaran saya. Alkisah sehari sebelum saya putuskan, saya jatuh sakit. Diluar dugaan dia dengan tulus menunggui saya dirumah sakit pada tiap kesempatan. Dia memijit kaki saya, menuntun saya kekamar mandi, mengantar dan mebantu keluarga saya, membantu apa saja tanpa enggan sedikitpun. Dua minggu berturut-turut. Maka luluhlah hati dan sirnalah kebencian saya. Saya meneteska air mata dan bersumpah dalam hati untuk tidak memecatnya sampai kapanpun. Dia orang baik.
Saya mulai bertanya-tanya apakah saya bukan dari papan bekas juga? Yang jelas saya bukan yang paling efektif dan efisien, tidak pula mengharumkan nama perusahaan. Saya juga banyak mencuri waktu untuk kesenangan pribadi meskipun saya mengira tidak ada yang tahu. Mungkin mereka berbisik-bisik tentang aib saya. Mereka hanya pura-pura tidak melihatnya. Mungkin kita sama-sama dari papan bekas, hanya saya tidak pernah mau berpura-pura menutup mata untuk melupakan cacat anak buah dan mencoba melihat kebaikannya. Kuman diseberang lautan selalu nampak tetapi gajah dipelupuk mata tidak. Sebenarnya dunia ini untuk siapa? Untuk orang-orang pandai, sehat, sopan dan efisien saja? Tentu tidak! Untuk kita semua: yang menjengkelkan, yang frustrasi, yang melantur, yang bodoh dan yang sakit, semua-muanya!
Betapa besarpun keuntungan kita dari kerja keras dan efisien, masih lebih besar lagi penderitaan orang-orang lemah yang kita campakkan. Hanya untuk mengingatkan bahwa dunia ini milik kita bersama yang kuat dan yang lemah, yang pandai dan yang bodoh. Ingat papan bekaspun bisa jadi macam-macam perkakas, MacGyver pun butuh pipa bekas dan selotip untuk membuat senjata, mengapa kita begitu bersemangat dan bangga ketika memecat bawahan demi efisiensi?