Bulan: Oktober 2009

SEBERAT-BERAT MATA MEMANDANG

SEBERAT-BERAT MATA MEMANDANG

Oleh Jum’an

Ada benjolan seperti seekor lintah yang selalu berdenyut-denyut dibawah kulit lengan kiri saya. Suatu kali seseorang bertanya apa sebenarnya makhluk aneh piaraan saya itu. Saya ceritakan kepadanya bahwa suatu waktu dulu, tangan saya entah diapakan oleh dokter ahli bedah pembuluh darah, dibuatlah sebuah koneksi antara pembuluh nadi dan pembuluh balik. Koneksi itu disebut cimino fistula atau panggilan akrabnya lubang simino. Gunanya untuk memudahkan proses cuci darah. Saya menerangkannya dengan nada datar karena si-mino itu sudah tidak dipakai jadi seperti menceritakan barang bekas. Tetapi baru kira-kira tiga menit saya mengoceh, kenalan saya itu berkata “ Stop, stop, stop”. Kenapa, kata saya. “Perut saya mual, mata saya rasanya berkunang-kunang” Rupanya dia tidak tahan membayangkan orang dibius, dipotong urat nadinya……………

Ada orang yang memuji ketabahan saya menjalani rangkaian tindakan kedokteran selama sakit dan menjalani operasi transplantasi. Terima kasih.Tetapi sebenarnya saya tidak berhak menerima pujian karena dalam kondisi seperti itu saya rasakan ada mekanisme penyesuaian dalam diri saya yang membuat saya terbawa, tidak panik dan tidak takut. Mekanisme itulah yang barangkali yang menyebabkan orang menurut dan patuh saja ketika ia dituntun dan dikalungkan tali ditiang gantungan, diikat dan ditutup matanya untuk menghadapi regu tembak ataupun.. dibius dan dibaringkan diatas meja operasi. Tidak ada yang meronta dan jarang yang melawan.

Jadi mata yang memandang adakalanya lebih berat dari bahu yang memikul – meskipun peribahasa mengatakan sebaliknya. Saya tidak pernah pingsan menjalani ‘siksaan’ dokter-dokter itu, tetapi kenalan saya tadi mau pingsan hanya karena mendengar kisah seekor lintah yang berdenyut-denyut.

Seorang ibu barangkali lebih tabah ketika menjalani operasi Caesar atau batu ginjal ketimbang waktu dia membopong anak balita kesayangannya ke dokter dengan suhu badan tinggi, nafas tersengal-sengal dan menggeliat-geliat kesakitan.

Mananya yang sakit nak? Sebelah sini ya? Atau sebelah sini? Sebentar lagi sembuh ya sayang. Tapi anak itu tidak bisa menjawab kecuali terisak-isak dan gelisah kesakitan. Kalau bisa, ibu itu pasti rela mengambil alih sakit anaknya daripada tidak tahan melihat penderitaannya. Banyak ibu-ibu yang merasa lemas, lunglai tak berdaya atau panik melihat anaknya menderita, meskipun saya kira Alloh telah menyediakan mekanisme perlndungan agar anak itu tidak menanggung derita lebih dari kemampuannya.

Akan tetapi dalam penderitaan massal separah lumpur Lapindo, gempa Sumatra Barat dan Tsunami Aceh, seberat-berat mata memandang memang lebih berat bahu yang memikul. ”Alangkah kasihannya mereka itu, ditinggal mati sanak keluarga, tidur ditenda, rumah roboh, makanan tidak ada, hujan tak henti-henti” Apapun yang kita katakan, apapun yang kita coba bayangkan tetap tidak ada bandingannya dengan betapa berat mereka yang merasakannya. Semoga benar Alloh membekali mereka dengan mekanisme perlindungan, agar penderitaan tidak melampaui batas kemampuan.

YANG MURNI YANG RAPUH

YANG MURNI YANG RAPUH

Oleh: Jum’an

Tsurukawa adalah seorang anak muda tampan yang nyantri menjadi calon pendeta di kuil Rokuonji, dalam novel Kuil Kencana (The Temple of Golden Pavilion) karya satrawan Jepang Yukio Mishima. Ia merupakan pribadi yang penuh iktikad baik, berhati cerah, jernih dan tanpa dosa. Anak orang kaya dan pandai bertutur kata. Dari penampilannya saja orang sudah memperoleh kesan yang baik . Dalam kisah ini Tsurukawa meninggal dalam sebuah kecelakaan, meskipun belakangan ternyata bahwa sebenarnya dia bunuh diri.

Mizoguchi peran utama yang mewakili sang pengarang, menggambarkan bahwa mustahil untuk menyelamatkan Tsurukawa dari maut, karena ia yang hidupnya terdiri dari unsur-unsur murni, memilki kerapuhan seekor hewan yang berdarah murni. Sudah pada tempatnya , jika ia yang hidupnya merupakan bangunan murni yang tiada tara mengalami kematian karena kecelakaan, seperti sehelai kaca yang pecah tertabrak, karena bening dan tak kelihatan.

Benarkah orang jujur dan innocent seperti Tsurukawa rawan terhadap bahaya? Mungkin benar karena kepribadian seperti itu ibarat pintu kaca tanpa noda dan tanda, tidak nampak dimata orang yang lalu-lalang. Dengan kata lain mereka tidak mempunyai bahasa untuk menghadapi kenyataan.

Emas murni 24 karat terlalu lentur dan mudah bengkok bila dibuat perhiasan. Kalah oleh emas 22 karat yang kurang murni. Ia lebih keras dan tidak lembek. Anda tahu kan bahwa emas 22 karat harganya lebih mahal dari yang 24 karat?

Demikian pula besi murni, tidak sekuat baja. Padahal baja adalah 99% besi juga yang dibumbui 1 % Carbon. Apalagi kalau ditambah bumbu 10% Chromium, namanya menjadi stainless steel yang tidak akan berkarat seperti besi murni.

Gas oksigen yang sangat vital untuk pernafasan kita hanya merupakan seperlima dari kandungan udara yang kita hirup dan empat perlima sisanya adalah zat lemas atau Nitrogen. Bernafas dengan oksigen murni akan mengakibatkan hyperoxia atau keracunan oksigen dan itu merusak syaraf kata dokter.

Jangan pula meminum air murni. Air yang disuling akan kehilangan bahan mineral yang dibutuhkan tubuh. Minum air murni, meskipun lebih jernih dari air sumur jelas tidak sehat. Jadi murni bisa berarti rapuh, lembek bahkan toxic.

Anak-anak hasil perkawinan lintas ras secara umum lebih sedikit menghadapi masalah kesehatan dibanding anak-anak hasil perkawinan suku turun temurun.

Rasululloh pun tahu itu – dan menganjurkan kita untuk menikah dengan wanita yang jauh agar memperoleh keturunan yang sehat.

Tetapi kenyataannya pemujaan terhadap kemurnian suku atau trah masih tetap merupakan penyakit dunia. Entah sampai kapan. Bahkan anjing trah- pure bred dog – hewan yang dianggap berdarah murni, diberi sertifikat (stamboom), dihargai mahal dan dibuatkan induk organisasi, meskipun menurut Mizoguchi mereka itu…. rapuh.

Mimpi Hitler untuk mendominasi dunia melalui kemurnian ras Aria yang dia anggap super, masih tetap diteruskan oleh kelompok neo-nazi sampai sekarang.

Supremasi kulit putih Amerika juga selalu nampak setiap kali ditutup-tutupi dan dibantah. Meskipun, sebagai mana kita lihat, dominasi penyanyi rap dan para petinju justru dipegang oleh orang-orang berkulit hitam………..

SAKIT RAHASIA

SAKIT RAHASIA

Oleh: Jum’an

Menurut seorang teman karibnya, almarhum Arifin C. Noor sutradara film dan teater yang terkenal itu, berpesan agar jangan banyak yang tahu kalau beliau saat itu menderita sakit liver. Mungkin maksudnya agar jangan sampai ada orang yang membatalkan niat menggunakan jasa penyutradaraannya. Jangan ada kontrak yang diputus karena diragukan kesehatannya. Sebab bila itu terjadi niscaya akan mengganggu urusan ma’isyahnya. Mafhum. Beberapa waktu kemudian beliau meninggal pada bulan Mei 1995 dalam usia 54 tahun oleh penyakit yang menakutkan itu.

Wahyudi, seorang teknisi dibidang pengeboran juga merahasiakan sakitnya. Ia adalah pasangan suami istri muda dengan anak-anak mungil yang lucu-lucu dan perlu uang banyak untuk menopang kebahagiaan hidupnya. Saya membutuhkan jasanya untuk melayani pemboran minyak Pertamina di Prabumulih, Sumatra Selatan. Diapun dengan senang hati menerima permintaan saya. Baru dua minggu diatas rig, ia jatuh sakit dan harus dirawat dirumah sakit di Palembang. Tak ada yang menyangka bahwa disanalah akhir perjalanan hidupnya. Semua ikut berduka dan bergotong-royong merawat jenazahnya, tetapi sayalah yang dipersalahkan karena tidak memeriksakan kesehatannya sebelum berangkat.

Demikian pula Rico (samaran), dia wanti-wanti berpesan agar saya tidak mengatakan kepada siapapun bahwa dia – bersamaan dengan saya – menjalani cangkok ginjal di Guangzhou, Cina. Kepada komunitasnya dia menyatakan cuti diluar tanggungan perusahaan selama tiga bulan untuk urusan keluarga di Menado. Bagi Rico, dokter yang baru lulus dan penganten baru, sangat penting untuk selalu tampil prima dan orisinil. Kalau orang tahu ginjalnya ternyata sudah direparasi, dia yakin karirnya tidak akan lancar. Kalau ada persaingan untuk menduduki posisi penting dirumah sakit, tentulah akan dipilih seorang dokter yang berginjal utuh ketimbang seorang post-transplant. Sampai sekarang Rico jadi sahabat dan tempat saya bertanya kalau kepala terasa nyut-nyut.

Sebaliknya saya yang sakit dan cangkok ginjal pada umur lima-lima, semua saya ajak menangis, semua saya minta berdoa, semua saya minta menjenguk. Ada yang memberi air doa, jurus merpati putih dan obat sinshe. Walhasil lebih banyak saya siarkan ketimbang saya tutup-tutupi. Bukan lebih baik atau lebih buruk dari Rico dan Wahyudi tetapi memang begitu adanya.

Salahkah kalau seseorang menutupi sakitnya demi kebahagiaan keluarganya, demi menghindari gejolak dan agar kehidupan tetap terjaga? Salah. Kesehatan lebih penting dari segalanya. Lebih masuk akal kalau dengan terang-terangan mengaku sakit dan berusaha mengobatinya –demi kebahagiaan yang lebih lestari.

Ya deh… Tetapi saya lihat banyak orang yang mengambil sikap lebih baik merahasiakan penyakitnya. Saya menghargainya sebagai pilihan yang tersedia bagi mereka yang mau, sebagai bentuk pengorbanan yang lebih baik ditempuh daripada menyayat hati dan menyengsarakan orang-orang yang dicintainya.

Kalau tidak kenapa seorang Arifin Chairin Noor, Rico dan Wahyudi merahasiakan sakitnya?

MAN ROBBUKA – SOPO PANGERAN IRO

MAN ROBBUKA – SOPO PENGERAN IRO

Oleh Jum’an

Mungkin hanya anak-anak jawa tengah dan jawa timur generasi jadul yang akrab dengan dunia perwayangan dan pernah bermain umbul wayang, satu diantaranya saya. Sampai sekarang saya tidak lupa dengan wajah Buto Rambut Geni- seorang raksasa berambut api, rusuh dan suka membunuh dengan wajah bengis dan menyeramkan.

Gambar Buto Rambut Geni yang dicetak empat kali enam sentimeter, jarang dijadikan jago dalam permainan umbul wayang karena selalu jatuh tengkurap dengan bagian gambarnya menghadap ketanah. Entah kenapa raksasa yang menakutkan ini kalahan, kecuali kalau pemiliknya bermain curang dengan merekayasa kertas gambar itu sehingga selalu jatuh telentang dan menang. Tapi itu mudah ketahuan dan biasanya segera di-disqualified.

Saya ingat dimasa kecil dulu ikut mengiring jenazah ke sekaran (kuburan) di Gebang Kuning, sebuah desa di jawa tengah sana. Saya memegang erat-erat tangan seorang tua didekat saya karena takut dan berdiri di kerumunan bagian paling belakang. Setelah jenazah selesai dikubur dan tanah diatasnya dirapihkan, seseorang berdiri dan mulai berkhotbah dalam bahasa Jawa diantaranya:

“Wahai Mbah Sarji (nama mendiang, samaran), sebentar lagi akan datang kehadapan panjenengan dua malaikat Munkar dan Nakir untuk mengajukan pertanyaan–pertanyaan. Kalau mereka bertanya Man Robbuka – Sopo Pangeran iro, jawablah Gusti Alloh sesembahan kawulo….”

Itulah bagian dari talkin yaitu mengajari orang mati untuk menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir tentang siapa Tuhan dan nabinya, apa agama dan kitab pegangannya. Kemana kiblat dan siapa teman-temannya. Sekarang saya jarang mendengar talkin seperti itu mungkin karena tidak banyak yang melakukannya lagi, atau lingkungan hidup saya yang berubah.

Saya sangat takut bila membayangkan kedua malaikat itu. Tentulah mereka tinggi besar sangat menakutkan, galak dan menggetarkan. Dalam perbendaharaan pikiran saya hanya ada Buto Rambut Geni yang cocok mewakili malaikat Munkar dan Nakir. Ya, saya tidak tahu tokoh lain yang lebih mirip.

Lama-lama, seiring dengan pertumbuhan saya Buto Rambut Geni sebagai gambaran Munkar dan Nakir berganti menjadi makhluk besar bersayap, lalu orang tua berjubah hitam lalu lama-lama kabur. Bahkan nama kedua malaikat itupun jarang saya ingat lagi.

Bukan karena apa yang disebut-sebut dalam talkin itu remeh, tetapi saya tidak membutuhkan lagi potret malaikat Munkar dan Nakir. Tidak Rambut Geni, tidak makhluk bersayap maupun sosok berjubah hitam.

Karena seperti lirik lagu Chriyse yang diambill dari surat Yasin ayat 65, “Ketika Tangan dan Kaki Berkata”,

Akan datang hari mulut dikunci

Kata tak ada lagi.

Akan tiba masa tak ada suara

Dari mulut kita

Rasanya tidak ada yang perlu diajarkan lagi kecuali membiarkan tangan dan kaki berkata dan bersaksi. Mereka akan meng-upload semua file catatan harian yang, kalau mau, masih ada kesempatan kita meneruskannya dengan lebih baik, selama hayat dikandung badan.

SIAPAKAH DAKU?

SIAPAKAH DAKU?

Oleh: Jum’an Basalim

Saya sedang berjalan di gang sempit dibelakang pasar Tenabang. Beberapa anak perempuan yang sedang bermain terpaksa berhenti sejenak untuk memberi jalan saya lewat. Sambil menjawab sapaan saya, salah seorang dari mereka terdengar berkata: Mirip babenye Mumun ye?

Oh, jadi dimata mereka saya mirip babenye Mumun. Typical penjual daging pasar Tenabang yang bercelana komprang, kaos oblong dan sabuk hijau lebar berdompet-dompet dengan wajah mirip – saya- tentunya? Baiklah, saya rela.

Pada kesempatan lain ketika ada shooting film disalah satu rumah di kebonkacang sembilan, saya lewat mau pulang kegang tigabelas. Tidak lama, asisten sutradara yang kebetulan mengenal saya menyusul kerumah, menawari saya ikut main sebagai figuran. Sebagai om senang berkepala botak yang sedang merayu gadis belasan tahun. Gambarnya akan diambil dari jarak agak jauh dan hanya sekilas. Meskipun upahnya lumayan, mana saya mau…

Oh, jadi saya mirip tokoh pelahap daun muda seperti yang ada di film-film itu.

Tetapi seorang perawat dirumah sakit Guangzhou China pernah mencoba menebak profesi saya: You must be a teacher. Saya jawab: No… I am a field engineer. Tetapi dia tetap pada pendiriannya dan berkata lagi: No way, your face tells me who you are. You must be a teacher.

Oh, jadi saya mirip seorang guru. Seorang arif dan bijaksana, dengan jidat lebar dan wajah mirip – saya- tentunya? Baiklah sayapun rela dan senang.

Yang diluar dugaan adalah waktu saya mencoba mengisi sederet pertanyaan yang sepertinya disusun oleh seorang psikolog untuk mengetahui kelakuan seseorang. Dari sekitar duapuluh jawaban pertanyaan, saya ddisimpulkan mempunyai sifat dengki dan suka berkata nylekit, yaitu ucapan-ucapan singkat yang menusuk hati. Masa iya?

Meskipun saya bulat-bulat mengingkari, tetapi hasil test itu sungguh-sungguh menggangu pikiran saya. Saya merenung dan berpikir, bagaimana seorang babenye Mumun, yumasbi-e-ticer, bisa berhati dengki dan bermulut jahat?

Saya ingat. Pernah dalam keadaan pikiran kusut dan kelelahan, saya memperhatikan wajah saya didepan cermin. Buruk sekali wajah itu seperti seorang pendengki, tidak ada nurnya sama sekali, sepert bukan saya. Sampai-sampai saya merasa ragu waktu membaca doa ’semoga Alloh menjadikan akhlaqku secantik wajahku’ – rasanya doa itu kehilangan arti. Lama saya pandangi wajah yang berkerut-kerut dan banyak noda-noda hitamnya itu

Wajah itu seperti memberi gambaran bahwa jauh dilibuk hati, saya memelihara seekor kera jahat. Saya mengurungnya dalam krankeng karena selalu meronta dan meraung mau berusaha keluar. Diakah iblisku? Sesekali saya lengah mengawasinya tangannya keluar mencakar. Atau kalau saya terlalu dekat kepalanya keluar dan taring panjangnya mengigit saya. Bila itu terjadi, saya terasuki kedengkian dan dari mulut keluar kata-kata yang menyakitkan orang. Orang dekat saya mungkin membenarkan hal ini dalam hati mereka.

Semoga dengan kesadaran yang saya
miliki, petuah yang pernah saya terima dan ritual-ritual yang saya jalani serta perlindungan dari Sang Pencipta, kera itu tak akan lepas dari krangkengnya. Dia harus tetap terkurung disana selama hidup saya. Semoga dengki itu sirna dan mulut saya selalu berkata-kata baik atau diam saja. Amin.

MAMMA MIA

MAMMA MIA

Oleh: Jum’an

Suatu waktu diera orde baru dulu, pemerintah bermaksud meningkatkan taraf kehidupan petani sawah tadah hujan didaerah kabupaten Madiun yang dalam setahun hanya dapat panen dua kali. Untuk itu Departemen PU berencana memanfaatkan air tanah dengan membangun sumur-sumur bor didaerah itu. Dengan demikian dimusim kemarau para petani tetap dapat menggarap sawah mereka sehingga dapat panen tiga kali setahun.

Sebagai sales engineer saya sedang bertugas untuk membujuk Tuan Napolitano, seorang konsultan ahli air tanah dari Italia yang bekerja untuk Departemen PU, agar bersedia menggunakan produk perusahaan saya untuk mempermudah pengeboran sumur-sumur itu. Rayuan saya berhasil dan sumur-sumur pertama dibor dengan berhasil: pori-pori aquifer tidak ada yang tersumbat dan debit air tercukupi dengan baik. ”Mamma mia” – kata Tuan Napolitano memuji bahan polymer dagangan saya.

Tapi itu bukan akhir sebuah kisah sukses. Belakangan saya mendengar ada sekelompok petani yang menolak menggunakan air tanah untuk mengairi sawah mereka. Kalau padi tidak mau tumbuh, rawan puso atau berasnya tidak enak, siapa yang mau bertanggung jawab? Sepanjang pengetahuan awam padi hanya bisa tumbuh dengan air hujan, bersih dari langit dan diturunkan langsung oleh Alloh – jelas. Mana mungkin air tanah yang kotor bisa menyuburkan sawah.

Kabarnya proyek itu dianggap gagal karena kurang sosialisasi dan tidak mencapai tujuan. Dengan kata lain maksud baik pemerintah ditolak oleh petani.

Belum lama ini kakak saya menitipkan uang melalui teman sebaya kami dikampung untuk diberikan kepada seorang perempuan tua yang ikut meyayangi kami waktu anak-anak dulu – mumpung masih hidup. Untuk amannya diminta agar disampaikan: Ini titipan uang dari seseorang, ikhlas untuk sekedar pegangan kalau ada cucunya yang minta jajan. Diluar dugaan, perempuan itu benar-benar menolak pemberian itu. Waktu didesak kenapa, dia mengatakan ”wedos ngge tumbal” takut kalau-kalau dia dijadikan tumbal atau korban. Mungkin dia ingat zaman dulu, ketika kebanyakan orang desa menyangka bahwa untuk membangun jembatan harus ada banten berupa anak laki-laki yang harus dikubur dibawah pondasinya.

Tuan Napolitano dan saya memang mamma mia. Tetapi departemen PU dan kakak saya lupa bahwa maksud baik, panen tiga kali setahun atau pemberian uang belumlah cukup. Harus ada akad, deklarasi dan ungkapan yang jelas bahwa tidak ada maksud maupun akibat yang tersembunyi dibalik pemberian itu.

Bukankah mengungkapkan sesuatu dengan jelas dan gamblang merupakan tugas para rasul untuk menyampaikan kebenaran kepada ummat manusia? Sebuah tugas pilihan, terpuji dan tidak mudah. Mengungkapkan sesuatu dengan jelas adalah suatu kemampuan yang pantas ditekuni dan dijadikan cita-cita. Bayangkan Nabi Musa a.s sampai memohon kepada Alloh untuk ditemani Harun a.s untuk menghadapi Fir’aun karena Harun lebih fasih lidahnya, lebih informatif dalam mengungkapkan sesuatu.

Boris Pasternak, pemenang hadiah Nobel bidang sastera tahun1958 dari Rusia, menceriterakan tentang cita-cita hidup salah seorang tokoh dalam novelnya yang termasyhur Dokter Zhivago: agar dikaruniai kemampuan mengungkapkan isi pikiran tidak lebih dan tidak kurang dari yang dimaksudkan………..

PECAH SIRAH

PECAH SIRAH

Oleh: Jum’an

Meskipun anda bukan orang Minang dan tidak punya seorang kerabatpun yang tinggal di sana, tetap saja gempa itu meninggalkan dampak psikologis berupa kesedihan dan kegelisahan di hati anda. Betapa tidak. Siapa yang tidak takut membayangkan nafas yang terhenti karena hidung dan mulut tersumbat tanah.Tubuh yang meregang melepas nyawa, mereka yang mendapati dirinya tiba-tiba sendirian untuk selamanya tanpa sanak dan keluarga, lalu kapan pula kehidupan mereka akan pulih kembali. Tidak mungkin keadaan yang sangat mengenaskan itu tidak berpengaruh dihati dan pikiran kita.

Sudah begitu masih ditambah orang-orang yang sok alim menuduh gempa itu sebagai hukuman Alloh atas dosa-dosa mereka sendiri. Kalau orang Minang, orang Aceh dihukum dengan gempa dan tsunami, kenapa Alloh membiarkan Israel dan Serbia aman dan bebas dari bencana alam?

Gelisah dihati ini menyebabkan saya tidak mampu melanjutkan tugas menulis proposal yang semula diharapkan akan mendatangkan keuntungan perusahaan. Juga bahan tulisan yang lain, lebih baik saya simpan dulu untuk dilanjutkan kapan-kapan. Trauma tsunami Aceh yang tidak pernah sembuh dalam pikiran saya adalah: Sewaktu-waktu entah kapan, bukan tidak mungkin kita sedang tidur nyenyak tiba-tiba masuk air setinggi lima meter menjebak menghentikan nafas kita. Na’udzubillah min dzalik. Trauma itu terasa lebih menekan dengan tambahan bayangan sesaknya rasa tidak bisa bernafas karena tertimbun tanah longsor.

Seandainya saya punya bekal hidup yang cukup, tentu saya sudah mengundurkan diri dari pekerjaan sekarang.

Gelisah masih bertambah dengan terjadinya pergantian pemilik perusahaan tempat saya bekerja. Beberapa teman tampak jelas mengadakan manuver-manuver yang tidak etis untuk merebut hati dan memperoleh kepercayaan dari majikan yang baru. Anda mungkin bisa membayangkan betapa menyebalkannya melihat teman kita tiba-tiba bertingkah aneh, menjadi superaktif dan cekatan didepan pimpinan. Bukankah ini cukup untuk membuat otak kita buntu dan kehilangan gairah kerja?

Kantor juga pindah. Bukan berdasar kesiapan agar efisien, tetapi berdasar hari baik bulan baik: pokoknya pindah dulu nanti sedikit demi sedikit menyesuaikan dengan keadaan. Akibatnya kita terpaksa bekerja bersama tukang bangunan yang memasang sekat-sekat, tukang listrik yang memasang AC dan menambah daya, tukang komputer yang mengulur kabel kemana-mana. Lampu byar-pet, kabel USB ketukar-tukar, sambungan internet tidak beres-beres dan surat-surat sudah harus dikirim. Belum lagi kapan kita mau membongkar tumpukan kotak kardus-kardus besar yang berisi folder dan map-map itu?

Pindahnya ke Sunter lagi… perlu waktu lama mencari jalan terdekat yang aman dari rumah kekantor. Ternyata jalan harus berkelok-kelok dan semuanya macet cet. Jalan pulang berbeda pula dari jalan berangkat. Ini merupakan ketegangan tersendiri diatas tumpukan kegelisahan diatas.

Hari Jum’at pagi mobil saya mengeluarkan suara aneh seperti bunyi orang menggergaji pipa besi. Dan hari itu saya memutuska pulang awal karena sudah lebih dari lima kali menghidupkan komputer, selalu mati sekitar limabelas menit kemudian. Sesudah maghrib, Ais cucu saya, menstater mobil mau mengantar ibunya. Terdengar dia berkata: Kok lampunya dua-duanya mati. Kok bunyinya begini?

Saya pun diam. Saya menarik nafas panjang dan saya menyerah: hasbialloh wa ni’mal wakiil. Kalau tidak, trauma tsunami dan gempa, kantor dan majikan baru, teman yang menjadi aneh dan mobil ngadat pasti membuat saya PECAH SIRAH. Hari Sabtu seharian di bengkel, mobil saya jajan enam ratus ribu.

JAGUNG PACITAN DAN HAMMER OF LONDON

JAGUNG PACITAN DAN HAMMER OF LONDON

Oleh Jum’an

Seorang penjual batu akik didekat alun-alun Pacitan menawarkan (katanya) fossil jagung kepada saya. Sebuah batu berbentuk jagung yang sudah terkelupas klobotnya kecuali kulit tipis bagian dalam, sehingga biji-biji jagung itu nampak transparan dibawahnya. Ukurannya sama dengan jagung asli, warnanya kuning kusam dan bobotnya sedikit melebihi berat sebuah jagung. Katanya dia peroleh dari seorang penggali tanah lempung dari desa Kebonsari, kecamatan Punung.

Orang-orang dikantor saya yang beberapa diantaranya adalah geologist, tidak yakin bahwa jagung itu fossil tetapi barang buatan pabrik. Tapi tak seorang pun yang bisa memperkirakan pabrik mana yang bisa membuat barang seasli itu, lalu terdampar dekat alun-alun Pacitan dan dijual kepada saya dengan harga murah. Waktu jagung itu jatuh patah dua, kelihatan bagian dalamnya berupa batu kapur berwarna putih yang tidak terlalu keras. Kalau penjual batu akik itu sengaja menipu saya, saya rela-rela saja karena tipuannya telah menghidupkan suasana kantor saya selama beberapa minggu.

Enampuluh tahun sebelum saya menemukan fossil jagung itu, yaitu pada 1936, Max dan Emma Hahn suami-istri pendaki gunung dari Amerika, menemukan sebongkah batuan dengan sepotong kayu mencuat dari dalamnya, dikota kecil London (bukan Inggris), di Kimble County Texas.

Ketika dibelahnya menggunakan pahat ternyata batuan itu membungkus sebuah palu besi dengan gagang kayu yang sudah membatu. Penemuan “Hammer of London” ini menjadi sangat terkenal baik dikalangan ilmuwan maupun agamawan Kristen sampai sekarang. Karena hasil uji dari tim archeologist menujukkan batuan pembungkus itu telah berumur 400 juta tahun sedangkan palu itu sendiri sudah berumur 500 juta tahun. Menurut Institut Metalurgi Columbia, besi itu sangat murni terdiri dari 97% besi, 2 % chlorine dan 1 % belerang, sangat massif tanpa gelembung udara sama sekali. Besi seperti ini hanya mungkin dibuat menggunakan teknologi metalurgi abad 20 dengan proses pemurnian dan pengerasan modern.

Meskipun penelitian tentang umur artifak ini sangat ilmiah, tidak urung timbul juga berbagai kontroversi tentang Hammer of London ini. Bahkan, diluar dunia sains dan teknologi, Hammer of London yang sekarang disimpan di “Creation Evidence Museum” di Texas telah dijadikan senjata penting oleh kaum kreasionis Kristen untuk melawan kaum evolusionis disana.

Kaum kreasionis adalah mereka yang mempercayai bible secara harfiah berbeda dengan kaum evolusionis yang memahami segala sesuatu terjadi melalui proses evolusi. Kaum kreasionis dianggap musuh Negara di Amerika (kabarnya tumbuh juga di Indonesia) karena sepak terjang dan pendirian-pendiriannya banyak betrentangan dengan sains dan teknologi.

Dari berbagai spekulasi kemungkinan asal-usul palu besi itu, satu diantaranya adalah kemungkinan adanya kebudayaan modern dizaman dahulu kala, jutaan tahun yang lalu. Sebelum zaman dinosaurus, ada orang membawa palu besi?

Jagung batu yang saya beli dekat alun-alun Pacitan itu…. siapa tahu adalah peninggalan dari zaman kejayaan Pacitan jutaan tahun yang lalu juga.

Bagi yang tertarik dengan penemuan (palu, bukan jagung) diatas, silahkan gugel “Hammer of London”. Sedangkan yang tertarik dengan arti Alloh menurunkan besi, gugel “Surat Al Hadid ayat 25” Wa anzalnal hadiid………..