SEBERAT-BERAT MATA MEMANDANG
Oleh Jum’an
Ada benjolan seperti seekor lintah yang selalu berdenyut-denyut dibawah kulit lengan kiri saya. Suatu kali seseorang bertanya apa sebenarnya makhluk aneh piaraan saya itu. Saya ceritakan kepadanya bahwa suatu waktu dulu, tangan saya entah diapakan oleh dokter ahli bedah pembuluh darah, dibuatlah sebuah koneksi antara pembuluh nadi dan pembuluh balik. Koneksi itu disebut cimino fistula atau panggilan akrabnya lubang simino. Gunanya untuk memudahkan proses cuci darah. Saya menerangkannya dengan nada datar karena si-mino itu sudah tidak dipakai jadi seperti menceritakan barang bekas. Tetapi baru kira-kira tiga menit saya mengoceh, kenalan saya itu berkata “ Stop, stop, stop”. Kenapa, kata saya. “Perut saya mual, mata saya rasanya berkunang-kunang” Rupanya dia tidak tahan membayangkan orang dibius, dipotong urat nadinya……………
Ada orang yang memuji ketabahan saya menjalani rangkaian tindakan kedokteran selama sakit dan menjalani operasi transplantasi. Terima kasih.Tetapi sebenarnya saya tidak berhak menerima pujian karena dalam kondisi seperti itu saya rasakan ada mekanisme penyesuaian dalam diri saya yang membuat saya terbawa, tidak panik dan tidak takut. Mekanisme itulah yang barangkali yang menyebabkan orang menurut dan patuh saja ketika ia dituntun dan dikalungkan tali ditiang gantungan, diikat dan ditutup matanya untuk menghadapi regu tembak ataupun.. dibius dan dibaringkan diatas meja operasi. Tidak ada yang meronta dan jarang yang melawan.
Jadi mata yang memandang adakalanya lebih berat dari bahu yang memikul – meskipun peribahasa mengatakan sebaliknya. Saya tidak pernah pingsan menjalani ‘siksaan’ dokter-dokter itu, tetapi kenalan saya tadi mau pingsan hanya karena mendengar kisah seekor lintah yang berdenyut-denyut.
Seorang ibu barangkali lebih tabah ketika menjalani operasi Caesar atau batu ginjal ketimbang waktu dia membopong anak balita kesayangannya ke dokter dengan suhu badan tinggi, nafas tersengal-sengal dan menggeliat-geliat kesakitan.
Mananya yang sakit nak? Sebelah sini ya? Atau sebelah sini? Sebentar lagi sembuh ya sayang. Tapi anak itu tidak bisa menjawab kecuali terisak-isak dan gelisah kesakitan. Kalau bisa, ibu itu pasti rela mengambil alih sakit anaknya daripada tidak tahan melihat penderitaannya. Banyak ibu-ibu yang merasa lemas, lunglai tak berdaya atau panik melihat anaknya menderita, meskipun saya kira Alloh telah menyediakan mekanisme perlndungan agar anak itu tidak menanggung derita lebih dari kemampuannya.
Akan tetapi dalam penderitaan massal separah lumpur Lapindo, gempa Sumatra Barat dan Tsunami Aceh, seberat-berat mata memandang memang lebih berat bahu yang memikul. ”Alangkah kasihannya mereka itu, ditinggal mati sanak keluarga, tidur ditenda, rumah roboh, makanan tidak ada, hujan tak henti-henti” Apapun yang kita katakan, apapun yang kita coba bayangkan tetap tidak ada bandingannya dengan betapa berat mereka yang merasakannya. Semoga benar Alloh membekali mereka dengan mekanisme perlindungan, agar penderitaan tidak melampaui batas kemampuan.