Bulan: Maret 2011

TEPAT WAKTU DAN EGOISME

TEPAT WAKTU DAN EGOISME.

Oleh: Jum’an

Hari Minggu yang lalu saya tidur bermalas-malasan hampir sehari penuh, sehingga malamnya mata saya melotot sampai jam 4 pagi. Saya lalu berwudu, menunggu untuk solat subuh tetapi sebelum azan terdengar saya terlanjur hanyut dalam mimpi. Saya terbangun oleh dering HP disamping telinga. Ya halo, siapa ini? “Saya Abu pak, didepan pintu”. Sopir minta dibukakan pintu pagar; ternyata sudah jam 7.30 dimana biasanya saya sudah siap berangkat kekantor. Terhuyung-huyung karena roh belum benar-benar terkumpul saya membuka pintu agar Abu bisa memanaskan mobil. Sambil memikirkan alasan apa yang akan saya kemukakan nanti, saya pun mandi dan berpakaian. Mandi dan berpakaian hanyalah judulnya. Rinciannya dari A sampai Z sungguh panjang; dari mengambil anduk, buang air, mandi, sikat gigi, cukur janggut, wudu, andukan, solat subuh (jam 8 lebih apa boleh buat!), berhias, berpakaian (terdiri dari 6 langkah dari memakai cenana dalam sampai memakai kaos kaki dan sepatu) tanpa minum kopi. Belum termasuk mengumpulkan dompet, flash disk, HP, pakai deodoran, kacamata, arloji, mematikan lampu dll. Kesibukan yang padat dan menegangkan karena semua dilakukan dengan tergesa-gesa. Akhirnya sampailah saya dikantor dengan kelambatan hampir 2 jam.

Kalau anda bersabar untuk tidak cepat-cepat menghakimi, sebenarnya peristiwa seperti itu bukan hanya sekali dua kali terjadi. Yang sering karena tidur terlalu malam atau sekedar ingin nyambung tidur lima menit saja, tapi kebablasan. Ada kalanya kita bangun pagi badan terasa lemas tak bertenaga karena kurang gizi. Tidak bisa tepat waktu dapat disebabkan kemalasan, kurang pandai mengira-ira waktu, terpaksa atau mungkin juga karena rasa tanggung jawab. Rasa tanggung jawab? Ya! Ibu-ibu yang perfeksionis belum mau mengerjakan sesuatu yang lain sebelum suatu urusan benar-benar selesai. Kantor boleh menunggu tetapi mempersiapkan sarapan untuk suami dan anak-anak yang mau sekolah harus beres lebih dulu. Sore hari, suami silahkan menunggu tapi urusan kantor harus benar-benar beres, semuanya harus tuntas-tass!. Tidak tepat waktu bisa terjadi pada semua orang, termasuk juga para pimpinan. Mereka karena punya kekuasaan yang lebih, tidak usah repot-repot menjelaskan apa sebabnya. Bahkan ada diantara mereka yang sengaja tidak menepati waktu semata-mata mau unjuk kuasa, bahwa mereka bisa menyiksa orang lain dengan menunggu berlama-lama. Itu memberikan kepuasan baginya karena kekuasaan yang dimilikinya benar-benar terasa berdampak bagi bawahannya. Lalu dengan santai ia katakan terlambat karena urusan penting. Titik. Egois bukan?

Terlambat masuk kantor tidaklah dosa-dosa amat kalau kita tengok apa kerja mereka yang selalu datang tepat waktu. Mereka ketoilet dulu setengah jam, twitteran atau chatting sambil minum kopi atau membaca koran. Bahkan ada karyawan yang keluar kantor katanya sebentar mau potong rambut. Ia beralasan karena rambutnya tumbuh selama jam kantor, wajar kalau dia memotongnya pada jam kantor juga. Penyebab lain bagi keterlambatan yang kronis adalah ketidak-mampuan kita memutus kesenangan yang sedang kita nikmati dan memulai sesuatu yang seharusnya kita kerjakan. “Tar dulu! Ini acara talk-show hampir selesai” padahal taksi sudah lama menunggu, semacam godaan yang mengasyikkan. Tetapi menepati waktu adalah nilai yang terpuji sepanjang zaman, diakui oleh para panglima dan orang-orang bijak. Mungkin tulisan diatas terasa agak melecehkan. Maaf. Itu hanyalah kisah manusia yang mentertawakan kelemahan dirinya seperti kisah indahnya perselingkuhan meskipun kita tahu itu dosa.

Dalam kehidupan yang sarat dengan komunikasi, kegiatan sosial, hubungan persahabatan dan berbagai kewajiban, ketepatan waktu merupakan suatu keharusan. Kalau anda tinggal di Bekasi misalnya dan suatu kali harus bertugas ke Menado, anda akan tahu betapa keterlambatan itu bisa fatal. Jadwal penerbangan ke Menado adalah jam 5 pagi dari Cengkareng. Anda harus sudah ada di airport 2 jam sebelumnya. Itu artinya anda harus sudah bangun jam 1 malam untuk bersiap-siap dan berangkat dari rumah jam setengah dua. Atau lebih baik anda tidak usah tidur saja. Itu harus kalau anda mau sampai di Menado jam 9 pagi dan terus bekerja. Itu harus. Kalau anda terlambat, percayalah reputasi anda akan hilang atau bisa-bisa anda dipecat. Better three hours too soon than a minute too late. Begitu tulis William Shakespeare.

RAHASIA MEDIS PERSAHABATAN

RAHASIA MEDIS PERSAHABATAN

Oleh: Jum’an

Persahabatan adalah hubungan suka-rela yang kita pilih sendiri. Berbeda dengan hubungan pernikahan yang terikat kewajiban dan tanggung jawab atau hubungan keluarga yang bukan hasil pilihan, persahabatan hampir tanpa beban. Persahabatan adalah sumber ide-ide baru, dukungan moral maupun sosial. Seorang sahabat sejati benar-benar percaya pada kita, menerima kita apa adanya, mendengarkan kita tanpa menghakimi, tidak menggosipkan kita, jujur dan siap membantu. Tetapi orang tetap menganggapnya sepele bila dibandingkan dengan vitalnya hubungan keluarga. Padahal penelitian ilmiah membuktikan bahwa persahabatan merupakan senjata ampuh yang dapat membantu kita dalam memerangi penyakit dan depressi, mempercepat proses penyembuhan, mencegah pikun dan juga memperpanjang usia. Dr. Irene Levine psikolog dan peneliti kejiwaan dari Michigan mengatakan bahwa persahabatan benar-benar menurunkan stress, tekanan darah dan kadar kolesterol. Dampak persahabatan pada kesehatan lebih besar dari dampak yang ditimbulkan oleh hubungan pernikahan dan keluarga. Persahabatan memberikan efek psikologis yang sungguh mendalam.

Penelitian 10 tahun lebih tentang warga lanjut usia di Australia membuktikan bahwa mereka yang mempunyai banyak sahabat, 22% lebih kecil kemungkinannya meninggal selama periode penelitian itu dibanding mereka yang hanya memiliki segelintir teman. Penelitian Universitas Harvard menunjukkan bahwa ikatan sosial yang kuat dapat meningkatkan kesehatan otak dan memori ketika kita menua dan mencegah dari pikun. Penelitian terhadap sekitar 3,000 perawat yang mengidap kanker payudara tahun 2006 menemukan bahwa wanita tanpa teman dekat, empat kali lebih mungkin mati oleh penyakit itu dibanding mereka yang mempunyai 10 orang sahabat atau lebih. Jarak tinggal atau sering tidaknya saling jumpa sahabat itu tidak mempunyai pengaruh. “Mempunyai sejumlah sahabat” saja sudah merupakan suatu perlindungan. Terbukti pula bahwa mempunyai pasangan hidup tak berpengaruh terhadap ketahanan hidup. Penelitian terhadap 736 pria Swedia tengah baya selama 6 tahun membuktikan bahwa persahabatan sangat besar pengaruhnya terhadap risiko serangan jantung dan sakit jantung koroner yang fatal. Tidak memiliki sahabat sama besar risikonya terhadap serangan jantung dengan kecanduan merokok. Bahkan terbukti, mereka yang banyak sahabat lebih jarang terkena flu, mungkin karena tingkat stress yang lebih rendah.

Betapa besar efek persahabatan dalam kehidupan dapat disimak dari hasil Penelitian Univesitas Virginia berikut: Sejumlah 34 orang mahasiswa dengan masing-masing menyadang ransel yang cukup berat dibawa kesebuah kaki bukit yang curam seakan-akan mereka mau mendaki. Disana mereka diminta untuk memperkirakan berapa derajat kemiringan sisi bukit itu. Beberapa peserta berdiri disamping teman-temannya selama pengukuran itu sementara ada yang berdiri terpisah. Ternyata mereka yang berdiri berdekatan teman-teman memberikan perkiraan yang lebih landai dibanding mereka yang berdiri sendiri-sendiri. Semakin lama mereka saling mengenal, bukit itu makin nampak tidak begitu curam bagi mereka. “Orang dalam lingkungan persahabatan merasa seperti memiliki seseorang yang dapat diandalkan. Penelitian ini menyimpulkan secara konsisten bahwa persahabatan benar–benar membuat hidup kita lebih baik”. Begitu kata Karen A. Roberto direktur pusat gerontologi Virginia Tech. USA. Silaturahmi, istilah lain dari persahabatan memang ampuh. Kita mungkin kurang menghargainya.

JANGAN MAU MENERIMA BANTUAN MERTUA

JANGAN MAU MENERIMA BANTUAN MERTUA

Oleh: Jum’an

Slogan provokatif itu bukanlah pendirian saya. Ketika rekan saya yang baru menikah menolak tinggal dirumah yang disediakan oleh mertua, saya menyalahkan sikapnya. Jangan angkuh dan jangan bodoh. Bantuan itu wajar dan terpuji sebagai tanda peduli dan penghargaan bagi seorang yang akan melindungi anak gadisnya dan memberikan seorang cucu bagi mereka. Lagipula entah kapan ia sanggup membeli rumah sendiri. Dengan menerima bantuan itu, ia bisa mencurahkan tenaga dan pikirannya mengejar target cita-citanya yang lain. Tetapi teman saya bersikukuh menolak dan memilih untuk tinggal dirumah kontrakan. Ia tidak mau mertuanya kelak mencampuri urusan rumah tangganya, apalagi kalau ia harus tunduk pada kemauan-kemauan istrinya mentang-mentang ia tinggal dirumah pemberian mereka. Dia sadar bahwa pemberian bantuan itu akan menyebabkan ketergantungan dan melemahkan kedudukannya sebagai kepala keluarga. Lebihcelaka lagi kalau terjadi hal yang tidak diharapkan seperti perceraian misalnya, dialah yang terpaksa hengkang dari rumah itu bukan istrinya. Alangkah amat malunya! Siapa tahu itulah tujuan dibalik bantuan itu, agar istrinya bisa meneriakkan umpatan “angkat kaki kau dari sini” bila terjadi petengkaran. Ah..itu khayalan sinis dan penuh prasangka. Tetapi teman saya tetap berpendirian: jangan pernah mau terima bantuan dari mertua!

Dia bukan satu-satunya pemuja kebebasan dan harga diri yang mengejar kepuasan dan anti ketergantungan. Banyak orang yang berpendirian begitu dalam kehidupan mereka. Mereka adalah para pemberani yang memilih membanting tulang berjuang sendiri demi kepuasan dan menghindari beban hutang budi dibelakang hari. Seperti kata peribahasa berakit-rakit kehulu berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Tahukah anda mengapa mereka melawan arus menentang logika dengan memilih jalan yang berliku dan mendaki, menolak jalan datar yang langsung ke tujuan? Bukankah mereka “mencari masalah”? Apakah masalah bisa memberikan kepuasan dan kebahagiaan? Jangan menduga tidak. Memang bisa. Ada yang berkata, masalah adalah peluang yang menyamar. Problems are opportunities in disguise.

Dalam penelitian psikologi sesuatu yang sekilas kedengaran bertentangan sering kali terbukti merupakan kebenaran belaka. Orang-orang yang tidak pernah menghadapi kesulitan tidak pernah berkesempatan merasakan bagian penting dari kebahagiaan; yaitu menghadapi dan menaklukkan tantangan. Kata Gerald Huther peneliti otak dari Jerman, menaklukkan tantangan manciptakan kebahagiaan, karena rasa bahagia itu selalu dihasilkan ketika pergolakan dan rangsangan dalam otak berubah menjadi tenang dan selaras. Rasa menaklukkan tantangan dengan kekuatan sendiri sangatlah penting. Kata Huther rasa bahagia yang paling intens adalah ketika seorang merasakan potensi dari tindakannya sendiri. Tentu kita menghargai kalau orang datang menolong, tetapi ketika kita mampu menanganinya sendiri, efek kebahagiannya jauh lebih besar dal lebih lama.

Ketika kita menangani masalah dan berkonsentrsai pada hal yang spesifik otak kita mengluarkan hormon dophamine . Ini saja sudah menciptakan rasa menyenangkan. Harapan bahwa ada kemungkinan berhasil dalam usaha kita, merangsang tubuh kita mengeluarkan sintesa opioid yang berperan lebih mengintensifkan emosi-emosi positif. Begitu kita benar-benar berhasil mengatasi masalah, kemenangan itu dibarengi oleh rasa bahagia yang benar-benar intensif dan berterusan. Begitu kata Gerald Huther. Puncak kepuasan dari hasil perjuangan sendiri……….tanpa bantuan mertua!

CINTA PROFESI PANGKAL SEHAT

CINTA PROFESI PANGKAL SEHAT

Oleh: Jum’an

Professor Aaron Antonovsky adalah pakar sosiologi medis berkebangsaan Yahudi. Ia penasaran mengapa sebagian bangsanya yang selamat dari siksaan Nazi pada PD ke II sangat menderita fisik dan mental tetapi sebagian yang lain tetap sehat-sehat saja. Ia ingin mengetahui mengapa ada orang-orang yang tahan terhadap tekanan stress yang berat dan ada yang tidak. Ia tidak menggunakan pendekatan tradisional yang berfokus pada pencarian asal-usul penyakit dan cara pengobatannya, tapi justru pada asal-usul kesehatan dan ketahanannya. Pendekatan ini ia sebut Salutogenesis (Latin = asal-usul kesehatan). Ia menyamakan obat-obat barat modern sebagai upaya canggih untuk mengentaskan seseorang yang terseret arus sungai yang bergolak (dan banyak sekali berhasil), tetapi sedikitpun tidak menanyakan mengapa orang itu sampai terseret jatuh kesana dan kenapa dia tidak pandai berenang. Arus kehidupan bagaikan sungai yang bertebing licin dan orang mudah terpeleset kedalamnya. Kalau ingin selamat, orang harus mempelajari lika-liku sungai itu. Bagian mana yang sulit dan bagian mana yang mudah diseberangi, mana hulu dan mana hilirnya. Agar kita tidak kehabisan tenaga atau terseret arus waktu berenang mengarunginya.

Pertama-tama kita harus memiliki perasaan bahwa kehidupan ini bisa difahami, tidak acak-acakan bahkan sedikit banyak bisa diprediksi apa yang akan terjadi nanti. Kedua bahwa kehidupan ini bisa dikelola dan kita memiliki kemampuan dan sumber daya untuk mengendalikannya. Ketiga, dan ini yang paling penting, kita merasakan bahwa kehidupan itu dapat memberikan kesenangan dan kepuasan. Kehidupan ini benar-benar mempunyai makna dan sangat beralasan bagi kita menerima tantangannya. Menurut Antonovsky pangkal kesehatan tergantung dari seberapa kuat kita memiliki perasaan-perasaan diatas (yang ia sebut rasa koherensi) terutama perasaan bahwa hidup kita bermakna. Jika kita tidak merasakan bahwa hidup kita bermakna , kita tidak akan memiliki motifasi untuk mengatasi tantangan. Makin kuat rasa kebermaknaan hidup kita, makin ringan kita merasakan tekanan dan tegangan dan semakin tahan kesehatan mental dan fisik kita. Rasa koherensi itulah yang membedakan kita perenang yang baik atau perenang yang buruk dalam menempuh arus kehidupan.

Yang lebih menarik menurut Antonovsky dalam bukunya Unravelling the Mystery of Health: How People manage Stress and stay well”, perasaan bermakna itu lebih besar pengaruhnya terhadap kesehatan ketimbang faktor-faktor lain yang lebih nyata dan terukur seperti makanan bergizi dan olah raga teratur. Seorang guru Sekolah Dasar yang merasakan makna hidupnya sebagai kepala keluarga dan sebagai pendidik, meski makan hanya berlauk teri-tempe, bisa lebih tahan sehat dari seorang aksekutif bank yang merasa pekerjaannya hanya menghitung-hitung uang orang, meskipun makanan dan olahraganya terjaga. Penelitian di Universitas Cambridge Inggris membuktikan bahwa rasa koherensi yang tinggi menurunkan resiko kematian dari berbagai penyakit. Penelitian lain membuktikan bahwa karyawan dengan rasa koherensi yang kuat, yang merupakan faktor kunci dalam menjaga kesehatan, memiliki respon yang lebih positip terhadap perubahan pimpinan, pergantian tempat kerja karena merger misalnya.

Tentu saja anda jangan berhenti olah raga dan makan bergizi. Tetapi sangatlah penting untuk memberikan makna kepada hidup kita, karena itu merupakan faktor kunci dari ketahanan kesehatan. Ingat kata kuncinya: dunia ini masuk akal, dapat dikelola dan kita mampu mengendalikannya. Kehidupan ini penuh makna dan sangat layak kita menyambut tuntutan dan tantangannya. Berikan makna dan cintai pekerjaan kita, sebagai buruh bangunan sekalipun. Bukankah sehari lima kali kita berikrar…solatku, amalku, bahkan hidup dan matiku untuk Tuhan Seru Sekalian Alam? Deklarasi makna hidup yang sangat mendasar. Bila konsisten menghayatinya insyaalloh kita sehat dan tahan stress……